Pelarangan Mudik Harusnya dengan Cara Cerdas, Bisa Tiru Singapura

Pelarangan Mudik Harusnya dengan Cara Cerdas, Bisa Tiru Singapura

Tim detikcom - detikOto
Jumat, 09 Apr 2021 15:35 WIB
Sejumlah calon penumpang bersiap naik bus di area Terminal Jatijajar, Depok, Jawa Barat, Kamis (23/4/2020). Pemerintah memutuskan kebijakan larangan mudik Lebaran 2020 bagi masyarakat mulai berlaku Jumat (24/4) guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.
Pemerintah melarang mudik lebaran 2021. Foto: ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA
Jakarta -

Pemerintah kembali melarang mudik Lebaran tahun ini. Namun, pelarangan mudik ini berpotensi pelanggaran. Hal itu pernah terjadi tahun lalu ketika masyarakat banyak yang melanggar larangan mudik dengan beragam cara.

Evaluasi dari tahun lalu, saat mudik dilarang masyarakat banyak yang nekat mudik. Kucing-kucingan juga dilakukan para pemudik saat ada larangan. Mereka mengakalinya dengan naik kendaraan pelat hitam, lewat jalan tikus, hingga nekat menumpang di bak truk.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyarankan mudik dibolehkan dengan beberapa syarat yang ketat daripada rawan pelanggaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di Indonesia dapat dilakukan dengan sistem zonasi, tanpa memandang masa mudik Lebaran atau tidak. Dilakukan selama masa pandemi COVID belum mereda pada liburan panjang. Satgas COVID sudah membagi menjadi zona merah, kuning, dan hijau. Mobilitas dari asal hingga tujuan diatur sesuai zona mulai dari awal hingga tujuan," kata Djoko kepada detikcom.

Menurutnya, di zona tujuan tetap harus ada kewajiban tes kesehatan dan karantina dengan biaya sendiri. Tempat karantina dapat di hotel atau penginapan yang disediakan warga.

ADVERTISEMENT

Djoko memiliki alasan atas saran tersebut, yakni beberapa pekerja berpenghasilan mingguan yang akan mengalami masa jeda sekitar dua minggu tidak bekerja di masa lebaran. Mereka tidak dapat pulang kampung dan tidak ada jaminan hidup selama dua minggu berada di lokasi pekerjaan.

"Siapa yang bakal menanggung ongkos hidup selama dua minggu tersebut? Padahal penghasilan mingguan hanya cukup menutup kebutuhan hidup dirinya di perantauan dan dikirim ke keluarga di kampung halaman selama seminggu," ucap Djoko.

Belajar dari Singapura, lanjut Djoko, negara itu tidak melarang siapa pun masuk ke sana. Asalkan, mereka mau dikarantina selama 14 hari dan jika hasil tes ketahuan positif COVID-19, diminta masuk rumah sakit dengan biaya sendiri.

"Aturan ini membikin siapa pun yang akan ke Singapura harus berkalkulasi dengan matang di masa pandemi ini. Melarang dengan cara cerdas," sebutnya.




(rgr/din)

Hide Ads