5 Presiden dan Jumlah Kematian di Jalan

5 Presiden dan Jumlah Kematian di Jalan

- detikOto
Jumat, 11 Jul 2014 09:21 WIB
5 Presiden dan Jumlah Kematian di Jalan
Jakarta - Indonesia baru saja melakukan pemilihan umum presiden. Nah terkait keselamatan di jalan, inilah yang telah dilakukan oleh 5 presiden Indonesia.

Indonesia punya catatan kelam soal nasib pengguna jalan raya. Setidaknya 330 ribu jiwa melayang sepanjang 1992-2014 lantaran kecelakaan lalu lintas jalan.

Sepanjang rentang tersebut, 5 Presiden Republik Indonesia tidak tinggal diam untuk menekan fatalitas kecelakaan. Sejumlah jurus pun dilontarkan. Mulai dari mempersiapkan perangkat perundangan hingga sejumlah aksi nyata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut data Korlantas Mabes Polri yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang rentang 1992-1998, ketika menjelang rezim Soeharto tumbang, jumlah korban tewas akibat kecelakaan mencapai sekitar 77 ribu jiwa dalam rentang tujuh tahun.

Artinya, rata-rata per hari 30 jiwa melayang sia-sia di jalan raya. Pada masa BJ Habibie, tiap hari sekitar 27 jiwa melayang. Lalu, di era Gus Dur rata-rata 26 jiwa tewas akibat kecelakaan.

Sedangkan di masa pemerintahan Megawati dan SBY masing-masing 27 jiwa dan 56 jiwa per hari.

Khusus era SBY, dihitung semasa sembilan tahun di luar 2014 karena data tahun tersebut belum dirilis otoritas ketika tulisan ini dibuat.

Soeharto menjadi pembuka dalam menggulirkan kepedulian pemerintah terhadap nasib pengguna jalan raya dalam rentang 1992-2014. Upaya melindungi nasib pengguna jalan, Soeharto menelorkan Undang Undang (UU) No 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Inilah UU yang bisa dibilang amat kental diwarnai oleh pemikiran dan sudut pandang anak negeri. Sebelum lahirnya UU tersebut, di masa Presiden pertama, Soekarno, perundangan terkait lalu lintas jalan masih kental dari warisan penjajah Belanda.

UU No 14/1992 tentang LLAJ menjadi perangkat lunak untuk menopang terwujudnya lalu lintas jalan yang humanis. Sekalipun pada praktiknya masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup besar. Terlebih, di tahun pertama UU ini hendak diterapkan, terpaksa harus ditunda satu tahun karena masih adanya sejumlah resistensi dari masyarakat.

Lewat UU tersebut Negara mencoba melindungi para pengguna jalan agar aman, nyaman, dan selamat ketika berlalu lintas jalan.

Perlindungan mencakup dari penyediaan moda transportasi yang nyaman, infrastruktur jalan yang berkeselamatan, hingga sejumlah aturan yang lebih detail dibandingkan UU sebelumnya di zaman Orde Lama besutan Presiden Soekarno, yakni UU No Nomor 3 Tahun 1965 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Apalagi jika dibandingkan dengan UU Nomor 7 Tahun 1951 (Lembaran-Negara tahun 1951 No. 42) yang mengubah dan melengkapi "Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 No. 86).

Salah satu dari aturan di dalam UU besutan Soeharto adalah perlindungan bagi pesepeda motor agar memakai helm ketika berkendara di jalan. Pesepeda motor diwajibkan memakai helm perlindungan kepala. Maklum, cedera di kepala berdampak mematikan bagi pesepeda motor yang terjebak dalam kecelakaan lalu lintas jalan. UU No 14/1992 tak hanya mewajibkan, tapi juga memberi sanksi berat bagi pelanggar aturan soal helm, yakni denda maksimal Rp 1 juta atau penjara maksimal satu tahun.

Belakangan, oleh rezim SBY aturan soal helm dilengkapi dengan kewajiban bagi pengendara dan penumpang sepeda motor, plus mewajibkan helm yang dipakai harus sesuai Standard Nasional Indonesia (SNI). Namun, dari segi sanksi berkurang, yaitu denda maksimal Rp 250 ribu atau penjara maksimal satu bulan.

"Negara wajib melindungi warganya, termasuk di jalan raya. Saat ini yang dibutuhkan penguatan sinergi stakeholder dan hapus ego sektoral," kata Ketua Umum Road Safety Association (RSA) Indonesia Edo Rusyanto.

(syu/ddn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads